Resensi Renungan Kloset karya Rieke Diah Pitaloka

Cover Antologi Puisi Renungan Kloset/Doc.Itha/
Judul        : Renungan Kloset

Penulis      : Rieke Diah Pitaloka

Penerbit     : Gramedia Pustaka Utama, 2003

Tebal        : 120 halaman

Halo gaes, dengan suasana langit yang masih kelabu aku singgah sejenak untuk membaca antologi puisi Renungan Kloset ini. Judulnya mendekati tabu, namun justru memancing rasa penasaran pembaca. Jika kemaren kita dihebohkan dengan filosofi kopi dari Dee Lestari, kali ini Rieke punya sudut pandang berbeda. Apa sih, filosofis dari sebuah kloset?? Mari kita telisik bersama-sama.

Judul Renungan Kloset diambil dari salah satu puisi yang terdapat dalam antologi puisi ini. Puisi itu ditulis di Yogyakarta pada tahun 2001. Puisi ini menceritakan bahwa penulis semestinya tidak perlu mencatat apa saja yang terjadi dalam hidupnya, yang biasa kita sebut menulis buku harian. Karena menulis sebuah jurnal harian tentu menjadi second memory yang kita ciptakan sendiri dan disimpan. 

Setiap manusia memiliki Hippocampus, bagian di otak yang terus-menerus merekam berbagai peristiwa yang pernah terjadi. Namun tidak seluruh memori bisa selalu kita ingat. Nah, dengan adanya second memory berupa diary, kita dapat mengingat berbagai momen yang telah kita lupakan dalam otak. Baik eristiwa sedih hingga menyenangkan, membaca ulang catatan itu akan membangkitkan emosi kita kembali.

Baca Juga:

Resensi Naskah Drama Hamlet karya William Shakespeare

Resensi Antologi Cerpen Pengakuan karya Anton Checkhov

Seperti peristiwa yang menyedihkan, maka kepingan memori yang masih ada akan kembali muncul dan membuat kita sedih kembali. Begitupun sebaliknya, peristiwa menyenangkan akan merangsang emosi bahagia kita hingga ingin kembali ke momen itu. Nah, disinilah filosofis kloset itu terbentuk.

Seperti yang kita tahu kloset merupakan benda yang berfungsi sebagai tempat pembuangan (Maap kalau lagi makan gaes 😁). Penulis berandai-andai menjadikan kenangan menyenangkan hingga sedih, sebaiknya ia buang. Seperti ketika menyiram kloset. Hilang tanpa menyisakan sedikitpun kenangan. Hal ini agar ia tidak merasakan lagi kisah pahit dan senangnya. 

Pesan yang dapat diambil yakni hidup terus bergerak maju. Masa lalu menjadi dongkrakan semangat untuk menjadi pribadi yang lebih baik di masa mendatang. Seperti kita yang kembali mengisi makanan lagi, itulah yang perlu dipikirkan menurut penulis.

Antologi puisi ini juga banyak berisi puisi-puisi feminis. Seperti Ibu, Mempelai Wanita, dan Note. Membaca ketiga puisi itu seolah-olah penulis berontak atas budaya patriarki. Selain itu, berpesan pada perempuan bahwa sudah seyogyanya berhati-hati dengan lelaki.Kumpulan puisi karya Rieke menarik untuk dibaca ya gaes, karena melingkupi berbagai pengetahuan bidang sosial, politik dan gender mulai tahun 1998 hingga 2001.

Cover buku belakang/Doc.Itha

Kelebihan Renungan Kloset

Rieke berlatar belakang pendidikan sastra Belanda dan ilmu filsafat. inilah yang menjadikan puisi-puisinya memiliki kedalaman makna dan estetik. Membaca Renungan Kloset akan membuatmu terbakar semangat, khususnya perempuan karena Rieke adalah sosok perempuan aktif di berbagai bidang.

Kekurangan Renungan Kloset

Menafsirkan beberapa puisi di sini dibutuhkan pengulangan membaca dan dalam waktu yang lama, untuk menemukan tafsir yang mendekati maksud dari penulisnya. 

Seperti kata Seno Gumira Adjidarma dalam pengantar buku ini. Kehidupan budaya bukanlah menonton film, nongkrong di kafe atau bahkan menggauli puisi, melainkan perbincangan antara hati dan kepala ketika merenungkan dunia. Dengan begitu, menafsirkan puisi akan menyelamatkan jiwa kita dari kematian budaya.

Gimana gaes, sudah tertarik baca Renungan Kloset?👀

Posting Komentar

0 Komentar